Pagi itu, udara terasa segar, lembut menyapu pipi saat sinar keemasan menembus langit. Di sebuah rumah sederhana di tengah kota, hidup seorang anak perempuan yang tenggelam dalam kenangan. Suara gemerisik dedaunan yang ditiup angin seakan menyimpan jejak masa lalu di setiap sudut rumah. Tempat ini, yang dulu penuh tawa, kini sepi dan berubah menjadi semacam museum, menyimpan kenangan tentang kehilangan yang mendalam.
Ayahnya selalu menjadi panutan, sumber kebanggaan dan perlindungan. Ayah yang sederhana namun kuat, bekerja keras tanpa kenal lelah. Meski pulang larut malam dengan wajah penuh peluh, senyum hangatnya tetap menyapa dari ambang pintu. Kehangatan itulah yang selalu membuat sang anak merasa aman. Namun, semua berubah dalam sekejap. Tiga hari sebelum Lebaran, hari yang seharusnya membawa kebahagiaan, justru menjadi mimpi buruk yang tak akan pernah ia lupakan. Hari itu, kabar mengerikan tiba, menghancurkan segalanya.
Telepon dari rumah sakit terdengar seperti suara yang berasal dari dunia lain. Kata-kata tentang kecelakaan ayahnya di jalan raya melayang di udara, menghantam telinganya tanpa ampun. Dunianya mendadak kosong. Tangisan ibunya memecah keheningan yang menyelimuti rumah, sementara sang anak hanya bisa berdiri kaku, berusaha memahami kenyataan pahit yang baru saja menimpa. "Ayah tidak akan pulang lagi." Kalimat itu menghancurkan segala harapan dan kebahagiaan yang tersisa.
Segala sesuatu terasa berubah begitu cepat, terlalu cepat, seperti badai yang datang tanpa peringatan. Rasanya seperti terjebak dalam mimpi buruk yang nyata, di mana ia berharap bisa terbangun dan menemukan segalanya kembali seperti semula. Tapi, kenyataan pahit tak memberinya ruang untuk bersembunyi. Ia harus menerima kenyataan bahwa pelukan hangat ayahnya tak akan pernah lagi ia rasakan, bahwa senyum lembut ayahnya tak akan lagi menyambutnya di pintu.
Hidup berlanjut, namun dengan irama yang patah-patah. Sosok ibu, yang selama ini menjadi pilar kekuatan, mulai melemah, tubuhnya digerogoti oleh penyakit. Hari-hari berlalu dengan napas berat, dan sang anak, setelah pulang sekolah, setia merawat ibunya tanpa keluhan. Dua kakaknya sibuk bekerja, sehingga ia menghabiskan sore dan malam di samping ibunya memandikan, menyuapi, dan menemani percakapan yang kini lebih banyak diisi dengan keheningan, karena ibunya hanya bisa menjawab dengan senyuman lemah.
Delapan bulan berlalu dalam hening, hanya ditemani detak jam yang terus berdetak di dinding, mengiringi rutinitas tanpa akhir. Gerakan sang ibu semakin terbatas. Tangan yang dulu lincah menyiapkan masakan kini tak mampu lagi mengangkat sendok. Tatapan matanya kadang kosong, bertarung melawan rasa sakit yang tak terucapkan. Meski demikian, sang anak tak pernah berhenti berharap, berharap suatu hari ibunya akan pulih dan kembali seperti dulu. Namun, semakin lama, harapan itu semakin memudar.
Hingga pada suatu malam yang kelam, kematian datang mengetuk pintu. Stroke yang kedua merenggut nyawa ibunya dengan tiba-tiba, seperti angin yang mencabut dahan kering di musim gugur. Dalam keheningan malam, dunia sang anak runtuh sekali lagi. Ibu, satu-satunya sosok yang masih ia miliki, kini pergi untuk selamanya.
Segalanya terjadi begitu cepat. Satu detik mereka masih bersama, dan detik berikutnya, ibunya sudah tak lagi bernapas. Ia hanya bisa duduk di samping tubuh ibunya, meremas tangan dingin itu sambil berdoa agar ini hanyalah mimpi buruk yang bisa ia bangun dari dalam hitungan detik. Namun, kenyataan tak pernah menunjukkan belas kasihan. Tak ada lagi suara lembut ibunya yang memanggil namanya, tak ada lagi tawa hangat yang menyambutnya di rumah. Semua yang pernah berarti kini hanya tinggal bayangan samar dalam ingatan.
Dalam kesedihan yang begitu mendalam, ia menyadari satu hal: kini ia benar-benar sendirian, hanya dengan kedua kakak laki-lakinya. Ayahnya telah tiada, dan sekarang ibunya pun menyusul. Kakak-kakaknya memang ada, tetapi kesibukan pekerjaan membuat mereka jarang berada di rumah. Rumah yang dulunya penuh kehidupan kini berubah menjadi tempat sunyi yang hanya dihuni oleh kenangan. Namun, di balik kesedihan yang tak terperi, ia tahu hidup harus terus berjalan. Meski iramanya tak lagi sama, meski langkahnya terasa berat, ia harus menemukan cara untuk bertahan di dunia yang telah berubah tanpa kedua orang tuanya.
Setiap hari ia menatap kosong ke langit-langit kamar, mencoba mencari arti dari semua ini. Kenapa hidup begitu kejam?. Kenapa orang-orang yang paling ia cintai harus diambil begitu cepat?. Tapi jawaban tak pernah datang. Yang tersisa hanyalah kenangan-kenangan tentang ibunya yang dulu kuat, yang kini telah pergi, meninggalkan lubang besar di hatinya yang tak pernah bisa terisi.
Setelah kepergian ibunya, dunia terasa hampa. Rumah yang dulu ramai kini menjadi cangkang kosong yang berisi gema langkah-langkah sepi. Dua abangnya bekerja keras, meninggalkan ia sendiri di rumah, memandangi buku-buku sekolah yang seakan mengolok-oloknya dengan janji-janji tentang masa depan yang tak lagi ia yakini.
Setiap kali tiba waktunya menerima rapor, hatinya teriris. Ia melihat teman-temannya tersenyum bersama ibu mereka, tangan-tangan lembut yang meraih rapor dengan bangga. Namun ia hanya bisa menunduk, menahan kerinduan yang dalam. Kadang, tantenya atau salah satu kakaknya mengambil rapornya, tapi rasanya tetap berbeda. Ia membayangkan ibunya hadir, dengan senyum hangat dan tangan lembut yang menyisir rambutnya. Tapi semua itu hanya bayangan. Kenangan. Masa lalu yang tak bisa ia gapai.
Malam-malam terasa lebih panjang, saat perutnya bergemuruh, bukan karena lapar, tetapi karena rindu akan masakan ibunya. Aroma nasi goreng yang dimasak dengan cinta, atau sup ayam hangat yang selalu membuat tubuhnya nyaman. Kini, dapur itu begitu sunyi, tak ada lagi tangan ibunya yang sibuk mengaduk wajan, tak ada lagi suara gumaman lembut ibunya.
Kesepian merayap masuk, menembus kulit dan menyusup ke dalam jiwanya. Rasanya seperti berenang di lautan yang tak bertepi, tanpa pelampung yang bisa ia raih. Namun di tengah keheningan itu, ia tahu hidup harus terus berjalan. Kehilangan demi kehilangan telah memberinya luka yang dalam, tetapi juga kekuatan, meski kekuatan itu kadang terasa rapuh.
Dalam diam, ia belajar bertahan. Hari-hari penuh kesepian ia lalui dengan keheningan yang menyakitkan, namun di balik itu, ada sebersit cahaya yang terus berkilau harapan. Harapan bahwa suatu saat, meski dunia terasa kosong, ia akan menemukan makna dari semua yang hilang. Dan meski bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya, ia percaya bahwa cinta orang tuanya masih hidup, tersimpan di setiap sudut kenangan.
Ia tahu, setiap kali menatap langit senja, di balik kegelapan, ada bintang-bintang yang menyaksikan kesedihannya. Mungkin di sanalah, ayah dan ibunya sedang menunggu, memberikan sinyal lembut bahwa mereka masih ada, meski tak lagi bisa ia peluk.
0 Komentar